Selasa, 05 Mei 2009

Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia

Prof. M. Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas
Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for Nutrition” atau
“Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah
perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl.27
sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua
zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara
gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang
dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya.
Bidang pertanian juga mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi
rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas
pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program
nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam
upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang
intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang
yodium.
Dibalik “cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam hal
masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia
kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak,
remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen)
kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam
waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi
lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
hipertensi, stroke dan diabetes.


Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah
dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan. Hanya saja kita di Indonesia
masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam
hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga
menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat
yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada
masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada
anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data
mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang
ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai
masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada
makalah lain.
Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam
penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan
beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi
khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu
dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Salah
satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan paradigma dalam
kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi
suatu hal atau masalah.
Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita
Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari
sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai
negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara
minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di
Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas.
Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17
per 100.000 tahun 1996.
Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian
besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data


nasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam
kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi
anak sebagai salah satu indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status
gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan
kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain
dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa
rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang
sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah
paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.1 Sedang kita masih
lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau
makanan.
Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan
rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh
karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi
yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi
termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand.
Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input.
Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap
rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya
baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome
sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain
tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan
kesehatan dasar.
Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru
untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status
gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma
program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi,
1 Ada perbedaan antara pertumbuhan anak dan status gizi anak. Pertumbuhan anak adalah indikator
dinamik yang mengukur pertambahan berat dan tinggi/panjang anak. Dari indikator ini dapat diikuti dari
waktu kewaktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan) pertambahan berat tau tinngi badan. Status
gizi merupakan indek yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan
dalam waktu pendek misalnya bulanan.


maka pembahasan akan saya mulai dengan dengan pemahaman masalah gizi
sebagai konsep system “input-outcome”.
Masalah gizi dalam konsep system “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebabakibat
antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak
masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome.
Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak
apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah
input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan
diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka
identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat
bagan)
13/6/2000 FK-UKI S O EKIRMA N Jakarta 9
G izi sebagai input-outcome
INPUT PROSES OUTCOME
Makanan di
makan
(dikonsumsi)
Dicerna,
Diserap ,
Metabolisme
Pertum b uhan Se l,
Pemelihara an Se l,
Memperlancar Fung si
Anatom is & Faa liTubuh,
Menghasilkan energi
Pertum b uhan
Status G izi
Fisik & Menta l/
Kecerdasan,
Produkt ivita s
Morb id ita s
Kesehatan Makanan
Gizi sebagai Input
Gizi sebagai Outcome
Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator
masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro
seperti produksi, persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan ratarata.
Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga
dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan
rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan
(orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari
sumber lemak dan protein meningkat.


Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri
anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan
pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan.
Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke
masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran
status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi
letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif
tidak akan menjangkau masalah gizi mikro.
Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang.
Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan
berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang
diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya.
Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang
perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama
diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di
Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak
menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok
Posyandu menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya.
Menurut hemat saya meletusnya “wabah” gizi-buruk pada saat krisis
ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan
penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an.
Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan
internasional.
Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang
mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan
pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian
menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk
mempertahankan berat badan.


Kesimpulan
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi
kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan
program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi
sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan
peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih,
kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi
lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri
dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini
dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi
adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan
protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan
sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita.
Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang
mengukur “the real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah
satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan
paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome.
Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih
besar dalam program gizi .
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi
protein, titik tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status
gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah
memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal
menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi
anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini
mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar
program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan
kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti


itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional
secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada
Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan
Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya.
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita
dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional
secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti
dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain. Pelaksanaannya dapat melalui
Susenas atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem
pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang
tidak terjangkau survey gizi nasional.
Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat
mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama
masyarakat desa untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan
pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS
pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan baik,
merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan
diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan
perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur
lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para
petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan KMS
sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas
normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada
petugas gizi dan kesehatan serta kader.
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga
pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya
paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai
titik tolak dan tujuan program.


Di bidang gizi proyek ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi melalui perubahan perilaku keluarga, secara operasional kegiatan pemberdayaan keluarga di bidang gizi pada 5 propinsi ( Sumut, Jambi, Bengkulu, Kalsel dan Kalteng) terintegrasi dengan komponen kegiatan lainnya dalam KKG pada tahun 2000. Proyek ini menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan keluarga dimana design program atau kegiatan nya dilakukan secara sistimatis akan menjangkau keluarga , sehingga pukesmas yang selama ini menggunakan pendekatan komunitas perlu melakukan reorientasi sesuai dengan paradigma baru puskesmas.
Dalam hal kaitannya untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan keluarga, kegiatan di bidang gizi yang dikembangkan bermula dari kajian perilaku sadar gizi dan analisis kebutuhan program dilapangan, selanjutnya pengembangan intervensi dilakukan berdasarkan potensi masyarakat yang ada (organisasi/institusi kemsyarakatan, pola ekonomi keluarga ,dll). Untuk menunjang kegiatan pemberdayaan gizi, didukung dengan akses keluarga dalam pelayanan kesehatan , penguatan akses informasi kesehatan dan gizi. Adanya kader keluarga dan TPM yang direkrut dari masyarakat dan keluarga diharapkan akan menjembatani masuknya informasi gizi dalam keluarga.


Beberapa kegiatan gizi yang dilakukan antara laian :

1. Pendekatan KIE interpersonal secara proaktif menjangkau keluarga melalui Pemetaan keluarga Sadar Gizi (kadarzi) yang ditindaklanjuti dengan konseling .
2. Pemberdayaan keluarga/masyarakat untuk menghasilkan makanan balita padat gizi. Kegiatan ini diawali dengan need assessment( potensi bahan lokal serta komitmen Pemda dan masyarakat seperti: penyediaan tempat, daya listrik, sustainability), pelatihan kader dan petugas .
3. KIE Kadarzi melalui pegembangan dan penggandaan media, Kampanye , dll.
4. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan petugas terutama dalam :
Pemantauan pertumbuhan balita, Konseling, tatalaksana kasus gizi buruk , Pembuatan MP-ASI berbasis pangan lokal, penyelenggaaran pelayanan gizi (POZI)

Kekuatan
Beberapa hal yang dianggap menjadi kekuatan adalah;
1. Kader keluarga, Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM), merupakan potensi untuk mempercepat proses pendidikan gizi.
2. Paket pemberdayaan bidang ekonomi (KUB) merupakan stimulan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pengembangan usaha ekonomi bersekala kecil. Diupayakan stimulan berkaitan dengan bidang kesehatan .
3. Puskesmas peduli keluarga merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang pro- aktif menjangkau keluarga (sehat/sakit)
4. IPKS (Indeks Potensi keluarga sehat), merupakan indikator yang merupakan gambaran adanya partisipasi masyarakat (ada 7 indikator), salah satu indikator kadarzi (menimbang anak) termasuk dalam IPKS. IPKS menjadi salah satu sukses Kepala Daerah.
Ke tujuh indikator tersebut adalah :
• Tersedianya air bersih
• Tersedianya jamban keluarga
• Lantai rumah bukan dari tanah
• Bila ada PUS menjadi peserta KB
• Bila punya balita mengikuti kegiatan penimbangan
• Tidak ada anggota keluarga yang merokok
• Menjadi anggota keluarga dana sehat.

5. Badan Penyantun Puskesmas/Badan Peduli Kesehatan Masyarakat , suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kesehatan termasuk gizi merupakan mitra kerja puskesmas.
Badan ini diharapkan dapat menyantuni kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.
6. Tiap Kabupaten ada LSM yang diikutsertakan dalam prose pemberdayaan keluarga khususnya dalam pembinaan KUB. Peran TPM terutama dapat memperkuat TPM agar mampu memfasilitasi pemberdayaan keluarga.
7. Paket pemberdayaan di bidang kesehatan dan gizi

Kesimpulan .
1. Hasil pemetaan kadarzi di beberapa tempat menunjukkan adanya perubahan perilaku kadarzi pada keluarga sasaran.
2. Adanya komitmen Pemda untuk sustainabilitas dan replikabilitas kegiatan pembinaan kadarzi, pembuatan makanan balita/MP-ASI padat gizi.



Oleh : Prof.Dr. Soekirman
Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar