berikut adalah 7 Pengobatan tradisional Unik dan aneh yang ada di Dunia...yang bakal bikin bulu kamu merinding...dan pastinya pengen muntah
1. Obat Impotensi dari Peru: Jus Kodok
Sering disebut dengan Viagra dari Peru. Sangat cocok untuk mereka para pengidap lemah syahwat. Permintaan pasar untuk produk ‘Extracto de rana’ (Jus Kodok) ini sangat tinggi di kota Lima, Peru. Selain untuk impotensi, jus ini juga mampu mengobati penyakit lainnya seperti, asma, bronkitis, dan penyakit pernafasan lainnya. Namun ada satu bahan campuran yang ternyata meningkatkan khasiat dari jus ini yaitu Maca, yang berupa tumbuhan sebagai obat kuat berasal dari Amerika Selatan.
2. Obat Radang Tenggorokan: Kotoran Anjing
“Album graecum” merupakan sebutan untuk kotoran anjing ato hyena yang telah memutih karena berda di udara terbuka. Jaman dahulu kotoran anjing ini digunakan untuk pengobatan tradisional dan biasanya dicampur dengan madu. Campuran kotoran anjing plus madu ini mampu membersihkan tenggorokan sehingga diyakini mampu mengobati peradangan pada tenggorokan.
3. Obat anti Penuaan: Mandi Bir
Di kota Chodova Plana, Czech Republic, terdapat sebuah “pusat kesehatan bir” yang merupakan pertama dan satu-satunya di dunia. Di sana mereka menawarkan perawatan dengan sarana mandi air hangat yang dicampur dengan air mineral dan juga bir. Terapi ini diyakini mampu mencegah dari penuaan terutama bagi para wanita. Hmm…
4. Obat Sakit Perut dari Cina: Empedu Monyet
Empedu monyet merupakan pengobatan yang telah lama digunakan masyarakat Cina. Bukan hanya untuk penyakit mata, obat ini digunakan juga sebagai ramuan anti sakit perut. Sedangkan darah dari monyet-monyet ini digunakan untuk obat kuat. Di Indonesia pun masih ada yang memakai kera sebagai obat. Mereka menggunakan otak kera sebagai obat penyakit impotensi.
5. Pengobatan Mesir Kuno untuk Infeksi Mata: Darah Kelelawar
Masyarakat Mesir kuno pernah mengalami masa-masa sulit saat wabah kebutaan menyerang wilayah itu, karena curah matahari yang cukup tinggi serta diperparah dengan adanya badai gurun. Untuk menangani masalah ini, para dokter di zaman Mesir kuno menggunakan darah kelelawar yang diteteskan pada mata pasiennya. Mereka berpikiran bahwa kelelawar memiliki pandangan yang tajam sehingga obat ini mereka gunakan pada para pasiennya.
6. Pengobatan Inggris Kuno untuk Malaria: Jaring Laba-laba
Beberapa dekade lalu saat sebuah wabah malaria menjalar secara cepat di berbagai belahan dunia, bermacam pengobatab digunakan untuk mengatasi penyakit ini. Salah satu obat yang paling unik waktu itu adalah tablet yang dibuat dari gulungan jaring laba2. Bukti dari khasiat tablet ini memang telah memudar beberapa abad lalu namun kini justru telah dikembangkan obat sejenis berbahan laba-laba yang masih hidup. hiii
7. Pengobatan AIDS Afrika Selatan: Bercinta dengan Perawan
Sebuah survey menemukan lebih dari 1/3 masyarakatnya percaya pada pengobatan kuno yang unik ini. Yap.. bercinta dengan perawan, yang dipercayai mampu membersihkan kuman2 dalam tubuh penyebab penyakit AIDS. Mitos ini muncul di Afrika Selatan yang merupakan negara dengan tingkat kekerasan seksual tertinggi.
ngeri bukan....yang pastinya sangat menjijikkan . sekedar info saja kok biar teman-teman tahu, bahwa sebenarnya diluar sana banyak sekali hal-hal yang aneh bila kita coba teta'ah....seiring dengan beberapa informasi diatas.
mau nyoba?? gak akh....
sumber: forumkami.com
prinsip PMI: Humanity(Kemanusiaan) Neutrality(Kesamaan) Neutrality(Kenetralan) Independence(Kemandirian) Voluntary(Kesukarelaa) Unity(Kesatuan) Universality(Kesemestaan)
Minggu, 24 Mei 2009
Rabu, 20 Mei 2009
MENDETEKSI SEHATNYA HATI (QOLBU)
Qalbu yang sehat memiliki beberapa tanda, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitab 'Ighatsatul Lahfan min Mashayid asy-Syaithan. Dan di antara tanda-tanda tersebut adalah mampu memilih segala sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kesembuhan. Dia tidak memilih hal-hal yang berbahaya serta menjadikan sakitnya qalbu. Sedangkan tanda qalbu yang sakit adalah sebaliknya. Santapan qalbu yang paling bermanfaat adalah keimanan dan obat yang paling manjur adalah al-Qur'an. Selain itu, qalbu yang sehat memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.Mengembara ke Akhirat
Qalbu yang sehat mengembara dari dunia menuju ke akhirat dan seakan-akan telah sampai di sana. Sehingga dia merasa seperti telah menjadi penghuni akhirat dan putra-putra akhirat. Dia datang dan berada di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing, yang mengambil sekedar keperluannya, lalu akan segera kembali lagi ke negeri asalnya. Nabi shallallhu 'alaihi wasallam bersabda, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melewati suatu jalan." (HR. al-Bukhari)
Ketika qalbu seseorang sehat, maka dia akan mengembara menuju akhirat dan terus mendekat ke arahnya, sehingga seakan-akan dia telah menjadi penghuninya. Sedangkan bila qalbu tersebut sakit, maka dia terlena mementingkan dunia dan menganggapnya sebagai negeri abadi, sehingga jadilah dia ahli dan hambanya.
2.Mendorong Menuju Allah subhanahu wata'ala
Di antara tanda lain sehatnya qalbu adalah selalu mendorong si empunya untuk kembali kepada Allah subhanahu wata'ala dan tunduk kepada-Nya. Dia bergantung hanya kepada Allah, mencintai-Nya sebagaimana seseorang mencintai kekasihnya. Tidak ada kehidupan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan kecuali hanya dengan ridha Allah, kedekatan dan rasa jinak terhadap-Nya. Merasa tenang dan tentram dengan Allah, berlindung kepada-Nya, bahagia bersama-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, yakin, berharap dan takut kepada Allah semata.
Maka qalbu tersebut akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk menemukan ketenangan dan ketentraman bersama Ilah sembahan nya. Sehingga tatkala itulah ruh benar-benar merasakan kehidupan, kenikmatan dan menjadikan hidup lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia. Untuk tujuan menghamba kepada Allah subhanahu wata'ala inilah surga dan neraka diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.
Abul Husain al-Warraq berkata, "Hidupnya qalbu adalah dengan mengingat Dzat Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Mati, dan kehidupan yang nikmat adalah kehidupan bersama Allah, bukan selain-Nya."
Oleh karena itu terputusnya seseorang dari Allah subhanahu wata'ala lebih dahsyat bagi orang-orang arif yang mengenal Allah daripada kematian, karena terputus dari Allah adalah terputus dari al-Haq, sedang kematian adalah terputus dari sesama manusia.
3.Tidak Bosan Berdzikir
Di antara sebagian tanda sehatnya qalbu adalah tidak pernah bosan untuk berdzikir mengingat Allah subhanahu wata'ala. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain-Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan ke jalan-Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah subhanahu wata'ala atau saling mengingatkan dalam kerangka berdzikir kepada-Nya.
4. Menyesal jika Luput dari Berdzikir
Qalbu yang sehat di antara tandanya adalah, jika luput dan ketinggalan dari dzikir dan wirid, maka dia sangat menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya.
5. Rindu Beribadah
Qalbu yang sehat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana rindunya seorang yang kelaparan terhadap makanan dan minuman.
6.Khusyu' dalam Shalat
Qalbu yang sehat adalah jika dia sedang melakukan shalat, maka dia tinggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan. Sangat memperhatikan masalah shalat dan bersegera melakukannya, serta mendapati ketenangan dan kenikmatan di dalam shalat tersebut. Baginya shalat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.
7.Kemauannya Hanya kepada Allah
Qalbu yang sehat hanya satu kemauannya, yaitu kepada segala sesuatu yang diridhai Allah subhanahu wata'ala.
8. Menjaga Waktu
Di antara tanda sehatnya qalbu adalah merasa kikir (sayang) jika waktunya hilang dengan percuma, melebihi kikirnya seorang yang pelit terhadap hartanya.
9. Introspeksi dan Memperbaiki Diri
Qalbu yang sehat senantiasa menaruh perhatian yang besar untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkat kan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba'ah (mengontrol) dan ihsan (seakan-akan melihat Allah subhanahu wata'ala dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Bersamaan dengan itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah subhanahu wata'ala serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.
Demikian di antara beberapa fenomena dan karakteristik yang mengindikasikan sehatnya qalbu seseorang.
Dapat disimpulkan bahwa qalbu yang sehat dan selamat adalah qalbu yang himmah (kemauannya) kepada sesuatu yang menuju Allah subhanahu wata'ala, mencintai-Nya dengan sepenuhnya, menjadikan-Nya sebagai tujuan. Jiwa raganya untuk Allah, amalan, tidur, bangun dan bicaranya hanyalah untuk-Nya. Dan ucapan tentang segala yang diridhai Allah lebih dia sukai daripada segenap pembicaran yang lain, pikirannya selalu tertuju kepada apa saja yang diridhai dan dicintai-Nya.
Berkhalwah (menyendiri) untuk mengingat Allah subhanahu wata'ala lebih dia sukai daripada bergaul dengan orang, kecuali dalam pergaulan yang dicintai dan diridhai-Nya. Kebahagiaan dan ketenangannya adalah bersama Allah, dan ketika dia mendapati dirinya berpaling kepada selain Allah, maka dia segera mengingat firman-Nya,
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya." (QS. 89:27-28)
Dia selalu mengulang-ulang ayat tersebut, dengan harapan dia akan mendengarkannya nanti pada hari Kiamat dari Rabbnya. Maka akhirnya qalbu tersebut di hadapan Ilah dan Sesembahannya yang Haq akan terwarnai dengan sibghah (celupan) sifat kehambaan. Sehingga jadilah abdi sejati sebagai sifat dan karakternya, ibadah menjadi kenikmatannya bukan beban yang memberatkan. Dia melakukan ibadah dengan rasa suka, cinta dan kedekatan kepada Rabbnya.
Ketika disodorkan kepadanya perintah atau larangan dari Rabbnya, maka hatinya mengatakan, "Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi dengan suka cita, sesungguhnya aku mendengarkan, taat dan akan melakukannya. Engkau berhak dan layak mendapatkan semua itu, dan segala puji kembali hanya kepada-Mu.
Apabila ada takdir menimpanya maka dia mengatakan, " Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, miskin dan membutuhkan-Mu, aku hamba-Mu yang fakir, lemah tak berdaya. Engkau adalah Rabbku yang Maha Mulia dan Maha Penyayang. Aku tak mampu untuk bersabar jika Engkau tidak menolongku untuk bersabar, tidak ada kekuatan bagiku jika Engkau tidak menanggungku dan memberiku kekuatan. Tidak ada tempat bersandar bagiku kecuali hanya kepada-Mu, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kepadaku kecuali hanya Engkau. Tidak ada tempat berpaling bagiku dari pintu-Mu, dan tidak ada tempat untuk berlari dari-Mu.
Dia mempersembahkan segalanya hanya untuk Allah subhanahu wata'ala, dan dia hanya bersandar kepada-Nya. Apabila menimpanya sesuatu yang tidak dia sukai maka dia berkata, "Rahmat telah dihadiahkan untukku, obat yang sangat bermanfaat dari Dzat Pemberi Kesembuhan yang mengasihiku." Jika dia kehilangan sesuatu yang dia sukai, maka dia berkata, "Telah disingkirkan keburukan dari sisiku."
Semoga Allah subhanahu wata'ala memperbaiki qalbu kita semua, dan menjaganya dari penyakit-penyakit yang merusak dan membinasakan, Amin.
Sumber: Mawaridul Aman al Muntaqa min Ighatsatil Lahfan fi Mashayid asy-Syaithan, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali al-Halabi.
sumber : alsofwah.or.id
Disampaikan oleh Sdr. Syafruddin Yahya @ Discussiion Board
1.Mengembara ke Akhirat
Qalbu yang sehat mengembara dari dunia menuju ke akhirat dan seakan-akan telah sampai di sana. Sehingga dia merasa seperti telah menjadi penghuni akhirat dan putra-putra akhirat. Dia datang dan berada di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing, yang mengambil sekedar keperluannya, lalu akan segera kembali lagi ke negeri asalnya. Nabi shallallhu 'alaihi wasallam bersabda, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melewati suatu jalan." (HR. al-Bukhari)
Ketika qalbu seseorang sehat, maka dia akan mengembara menuju akhirat dan terus mendekat ke arahnya, sehingga seakan-akan dia telah menjadi penghuninya. Sedangkan bila qalbu tersebut sakit, maka dia terlena mementingkan dunia dan menganggapnya sebagai negeri abadi, sehingga jadilah dia ahli dan hambanya.
2.Mendorong Menuju Allah subhanahu wata'ala
Di antara tanda lain sehatnya qalbu adalah selalu mendorong si empunya untuk kembali kepada Allah subhanahu wata'ala dan tunduk kepada-Nya. Dia bergantung hanya kepada Allah, mencintai-Nya sebagaimana seseorang mencintai kekasihnya. Tidak ada kehidupan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan kecuali hanya dengan ridha Allah, kedekatan dan rasa jinak terhadap-Nya. Merasa tenang dan tentram dengan Allah, berlindung kepada-Nya, bahagia bersama-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, yakin, berharap dan takut kepada Allah semata.
Maka qalbu tersebut akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk menemukan ketenangan dan ketentraman bersama Ilah sembahan nya. Sehingga tatkala itulah ruh benar-benar merasakan kehidupan, kenikmatan dan menjadikan hidup lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia. Untuk tujuan menghamba kepada Allah subhanahu wata'ala inilah surga dan neraka diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan.
Abul Husain al-Warraq berkata, "Hidupnya qalbu adalah dengan mengingat Dzat Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Mati, dan kehidupan yang nikmat adalah kehidupan bersama Allah, bukan selain-Nya."
Oleh karena itu terputusnya seseorang dari Allah subhanahu wata'ala lebih dahsyat bagi orang-orang arif yang mengenal Allah daripada kematian, karena terputus dari Allah adalah terputus dari al-Haq, sedang kematian adalah terputus dari sesama manusia.
3.Tidak Bosan Berdzikir
Di antara sebagian tanda sehatnya qalbu adalah tidak pernah bosan untuk berdzikir mengingat Allah subhanahu wata'ala. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain-Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan ke jalan-Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah subhanahu wata'ala atau saling mengingatkan dalam kerangka berdzikir kepada-Nya.
4. Menyesal jika Luput dari Berdzikir
Qalbu yang sehat di antara tandanya adalah, jika luput dan ketinggalan dari dzikir dan wirid, maka dia sangat menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya.
5. Rindu Beribadah
Qalbu yang sehat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana rindunya seorang yang kelaparan terhadap makanan dan minuman.
6.Khusyu' dalam Shalat
Qalbu yang sehat adalah jika dia sedang melakukan shalat, maka dia tinggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan. Sangat memperhatikan masalah shalat dan bersegera melakukannya, serta mendapati ketenangan dan kenikmatan di dalam shalat tersebut. Baginya shalat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa.
7.Kemauannya Hanya kepada Allah
Qalbu yang sehat hanya satu kemauannya, yaitu kepada segala sesuatu yang diridhai Allah subhanahu wata'ala.
8. Menjaga Waktu
Di antara tanda sehatnya qalbu adalah merasa kikir (sayang) jika waktunya hilang dengan percuma, melebihi kikirnya seorang yang pelit terhadap hartanya.
9. Introspeksi dan Memperbaiki Diri
Qalbu yang sehat senantiasa menaruh perhatian yang besar untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkat kan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba'ah (mengontrol) dan ihsan (seakan-akan melihat Allah subhanahu wata'ala dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Bersamaan dengan itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah subhanahu wata'ala serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya.
Demikian di antara beberapa fenomena dan karakteristik yang mengindikasikan sehatnya qalbu seseorang.
Dapat disimpulkan bahwa qalbu yang sehat dan selamat adalah qalbu yang himmah (kemauannya) kepada sesuatu yang menuju Allah subhanahu wata'ala, mencintai-Nya dengan sepenuhnya, menjadikan-Nya sebagai tujuan. Jiwa raganya untuk Allah, amalan, tidur, bangun dan bicaranya hanyalah untuk-Nya. Dan ucapan tentang segala yang diridhai Allah lebih dia sukai daripada segenap pembicaran yang lain, pikirannya selalu tertuju kepada apa saja yang diridhai dan dicintai-Nya.
Berkhalwah (menyendiri) untuk mengingat Allah subhanahu wata'ala lebih dia sukai daripada bergaul dengan orang, kecuali dalam pergaulan yang dicintai dan diridhai-Nya. Kebahagiaan dan ketenangannya adalah bersama Allah, dan ketika dia mendapati dirinya berpaling kepada selain Allah, maka dia segera mengingat firman-Nya,
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya." (QS. 89:27-28)
Dia selalu mengulang-ulang ayat tersebut, dengan harapan dia akan mendengarkannya nanti pada hari Kiamat dari Rabbnya. Maka akhirnya qalbu tersebut di hadapan Ilah dan Sesembahannya yang Haq akan terwarnai dengan sibghah (celupan) sifat kehambaan. Sehingga jadilah abdi sejati sebagai sifat dan karakternya, ibadah menjadi kenikmatannya bukan beban yang memberatkan. Dia melakukan ibadah dengan rasa suka, cinta dan kedekatan kepada Rabbnya.
Ketika disodorkan kepadanya perintah atau larangan dari Rabbnya, maka hatinya mengatakan, "Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi dengan suka cita, sesungguhnya aku mendengarkan, taat dan akan melakukannya. Engkau berhak dan layak mendapatkan semua itu, dan segala puji kembali hanya kepada-Mu.
Apabila ada takdir menimpanya maka dia mengatakan, " Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, miskin dan membutuhkan-Mu, aku hamba-Mu yang fakir, lemah tak berdaya. Engkau adalah Rabbku yang Maha Mulia dan Maha Penyayang. Aku tak mampu untuk bersabar jika Engkau tidak menolongku untuk bersabar, tidak ada kekuatan bagiku jika Engkau tidak menanggungku dan memberiku kekuatan. Tidak ada tempat bersandar bagiku kecuali hanya kepada-Mu, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kepadaku kecuali hanya Engkau. Tidak ada tempat berpaling bagiku dari pintu-Mu, dan tidak ada tempat untuk berlari dari-Mu.
Dia mempersembahkan segalanya hanya untuk Allah subhanahu wata'ala, dan dia hanya bersandar kepada-Nya. Apabila menimpanya sesuatu yang tidak dia sukai maka dia berkata, "Rahmat telah dihadiahkan untukku, obat yang sangat bermanfaat dari Dzat Pemberi Kesembuhan yang mengasihiku." Jika dia kehilangan sesuatu yang dia sukai, maka dia berkata, "Telah disingkirkan keburukan dari sisiku."
Semoga Allah subhanahu wata'ala memperbaiki qalbu kita semua, dan menjaganya dari penyakit-penyakit yang merusak dan membinasakan, Amin.
Sumber: Mawaridul Aman al Muntaqa min Ighatsatil Lahfan fi Mashayid asy-Syaithan, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali al-Halabi.
sumber : alsofwah.or.id
Disampaikan oleh Sdr. Syafruddin Yahya @ Discussiion Board
Minggu, 17 Mei 2009
Alat Pengukur Tekanan Darah
kami kira hampir semua orang pasti pernah diperiksa tekanan darahnya. Mungkin ada yang bertanya dalam hati, “Bagaimana ya kok bisa tekanan darah diukur?”. Sebenarnya prinsip kerjanya sederhana. Bagi yang pernah belajar fluid Statics di mata kuliah Mekanika Fluida mungkin bisa memperkirakannya dengan baik. Berikut ini saya coba paparkan secara singkat bagaimana prinsip pengukuran tekanan darah tersebut. Gambar dan penjelasan ini saya ambil dari ebook Fundamentals of Fluid Mechanics yang dibuat oleh Bruce R. Munson, Professor of Engineering Mechanics at Iowa State University since 1974, Donald F. Young, Anson Marston Distinguished Professor Emeritus in Engineering, is a faculty member in the Department of Aerospace Engineering and Engineering Mechanics at Iowa State University, dan Theodore H. Okiishi, Associate Dean of Engineering and past Chair of Mechanical Engineering at Iowa State University. Mohon maaf para Mr di atas, saya belum ijin untuk menampilkannya di sini, boleh ya…
Prinsip kerja alat pengukur tekanan darah sama dengan U-Tube Manometer. Manometer adalah alat pengukur tekanan yang menggunakan tinggi kolom (tabung) yang berisi liquid statik untuk menentukan tekanan. Manset dipasang ‘mengikat’ mengelilingi lengan dan kemudian ditekan dengan tekanan di atas tekanan arteri lengan (brachial) dan kemudian secara perlahan tekanannya diturunkan. Pembacaan tinggi mercuri dalam kolom (tabung manometer) menunjukkan peak pressure (systolic) dan lowest pressure (diastolic).
Prinsip U-Tube Manometer
Tekanan pada titik A sama besarnya dengan pada titik 1. Tekanan di titik 2 adalah tekanan di titik 1 ditambah dengan h1. Tekanan di titik 2 sama dengan tekanan di titik 3, yaitu h2.
Berdasarkan persamaan besar tekanan di titik 2 dan titik 3, dapat dituliskan sebuah persamaan :
Fluida pada A dapat berupa liquid atau gas. Bila fluida pada A berupa gas, pada umumnya tekanan h1 dapat diabaikan, karena berat dari gas sangat kecil sehingga P2 hampir sama dengan PA. Oleh karena itu berlaku persamaan :
Dalam kasus alat pengukur tekanan darah, h2 adalah tinggi cairan merkuri pembacaan pada kaca tabung dan adalah berat spesifik dari merkuri.
Berikut ini adalah tambahan penjelasan teknis (yang saya cuplik dari wikipedia) atas komentar Goio dan Wiku :
Stetoskop biasanya diletakkan diantara lengan (arteri pembuluh darah) dekat siku dan ‘bebatan kain bertekanan’ yang mengikat lengan. Tujuan bebatan kain dipompa (diberi tekanan) agar aliran darah yang melewati pembuluh darah arteri di lengan jadi terhenti. Pada saat tekanan dalam bebatan kain dilepaskan perlahan-lahan, dan kemudian darah mulai dapat mengalir lagi melalui pembuluh darah arteri, maka dari stetoskop akan terdengar suara wussshhhh…(suara sedkit menghentak). Hal itu merupakan pertanda untuk ‘mencatat’ penampakan ukuran pada manometer, yang merupakan tekanan darah systolic. Dan seterusnya sampai suara (wushhh…) tidak terdengar kembali yang mana itu merupakan ukuran tekanan darah dyastolic (dilihat dari displai manometer).
Ukuran tekanan darah normal untuk manusia dewasa (dengan kondisi saat pengukuran normal, tidak setelah berolahraga):
* Systolic : kurang dari 120 mmHg (2,32 psi atau 15 kPa)
* Diastolic : kurang dari 80 mmHg (1,55 atau 10 kPa)
Melahirkan Normal Melalui Induksi
Setiap wanita hamil tentu sangat menantikan saat kelahiran buah hatinya. Tetapi, apa jadinya bila setelah lewat 9 bulan masa kehamilan, tanda akan segera melahirkan belum juga terlihat? Tentu saja, kehamilan harus dihentikan. Salah satu cara yang dapat ditempuh, adalah melalui proses induksi.
Dengan kata lain, induksi dilakukan untuk mengakhiri kehamilan, dan memulai persalinan. Induksi pun dilakukan sebagai upaya mempermudah mengeluarkan bayi dari rahim secara normal. ’’Biasanya, ketika hamil dan akan memasuki proses persalinan, ibu hamil akan mengalami kontraksi secara spontan. Namun, jika kontraksi tidak juga timbul, maka akan dilakukan induksi,’’kata dr Ekarini Aryasatiani, SpOG, spesisialis obstetri dan ginekolog, RS St Carolus, Jakarta.
Induksi sendiri, lanjutnya, dapat diartikan sebagai upaya untuk memunculkan His. ’’His merupakan jenis kontraksi yang sifatnya teratur. Frekuensinya pun makin lama makin sering, dan rasanya makin kuat,’’ucapnya. Berbeda dengan His, kontraksi bersifat hilang-timbul tidak beraturan.
Kehamilan lewat bulan
Menurut Josie L Tenore, MD, SM, seorang asisten profesor dari sekolah kedokteran Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, alasan paling umum dilakukannya induksi adalah usia kehamilan yang telah lewat 2 minggu atau lebih dari tanggal/waktu kelahiran seharusnya, istilah populernya adalah overdue. ’’Selain itu, induksi pun dapat dilakukan dengan alasan kesehatan ibu, misalnya si ibu memiliki tekanan darah tinggi, terkena infeksi serius, atau mengidap diabetes,’’katanya.
Sebenarnya, untuk mengakhiri kehamilan pada kondisi tersebut di atas, ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu operasi caesar dan induksi. Induksi dilakukan apabila pasien menginginginkan untuk dapat melahirkan secara normal. Tentu saja, hal itu dapat dikabulkan bila telah dilakukan sejumlah pertimbangan medis oleh dokter yang menanganinya.
Menurut dr Ekarini, induksi dapat dilakukan dengan sejumlah syarat :
1. Ukuran bayi tidak terlalu besar, sehingga masih dimungkinkan untuk dilahirkan secara normal.
2. Tidak boleh ada ari-ari di bawah (plasenta privia)
3. Letak bayinya bagus
Kimia dan Mekanik
Proses induksi dapat dimulai melalui 2 cara, masing-masing secara kimia dan mekanik. Melalui cara kimia, si ibu akan diberikan obat-obatan khusus. Ada yang diberikan dengan cara diminum, dimasukan ke dalam vagina, diinfuskan, atau pun disemprotkan pada hidung.
Biasanya, tak lama setelah salah satu cara kimia itu dilakukan, akan mulai timbul His. Sementara, induksi mekanik dapat dilakukan dengan sejumlah cara, seperti menggunakan metode stripping, vibrator, kateter, dan memecahkan ketuban. Pada dasarnya, semua metode tersebut ditujukan untuk mengeluarkan zat prostaglande (prostaglandin) yang fungsinya sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.
Normal atau caesar?
Induksi dilakukan bagi ibu hamil yang belum juga mendapatkan His, pada waktu seharusnya Ia menghadapi proses persalinan. Bagi sebagian wanita hamil, operasi caesar mungkin merupakan jawabannya. Tetapi tidak sedikit diantara ibu hamil yang ingin tetap dapat melahirkan secara normal, maka induksi merupakan jalannya. Tetapi, bukan berarti cara ini tidak memiliki resiko. Diantara resiko yang mungkin terjadi, antara lain :
• Kontraksi rahim bisa berlebihan, oleh karenanya induksi benar-benar harus berada dalam pengawasan sempurna dari dokter kandungan. Bila ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan, proses induksi akan dihentikan. Kemudian, akan dilakukan operasi caesar.
• Janin dapat merasa tidak nyaman. Bila ketidaknyamanan itu dirasakannya sangat mengganggu, dapat membuat bayi mengalami gawat janin (stress pada bayi). Tetapi, sebelum dan saat induksi berlangsung, dokter akan memantau melalui cardiotopografi. Bila dianggap terlalu beresiko menimbulkan gawat janin, proses induksi akan dihentikan.
• Merobek bekas jahitan operasi caesar. Bagi ibu yang sebelumnya pernah dioperasi caesar, lalu menginginkan kelahiran normal. Bila His tidak muncul, kemudian memilih diinduksi, resiko yang kemungkinan kecil terjadi adalah, robeknya bekas jahitan operasi caesar terdahulu.
• Emboli. Ini merupakan kemungkinan yang teramat kecil terjadi. Emboli terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu, atau paru-paru. Bila terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika.
________________________________________
Kenapa Harus Induksi ?
Menurut dr Ekarini Aryasatiani, SpOG, spesisialis obstetri dan ginekolog, RS St Carolus, Jakarta, induksi dilakukan dengan sejumlah alasan, diantaranya:
• Usia kehamilan di atas 40 minggu (overdue)
• Kondisi kesehatan ibu
• Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan diduga akan beresiko/membahayakan hidup janin.
Induksi dilakukan apabila sang ibu tetap ingin mengusahakan proses kelahiran normal. Meski demikian, induksi tetap memiliki sejumlah resiko. Tetapi, ada sejumlah cara yang dapat ditempuh demi meminimalkan resiko tersebut, antara lain:
• Penanganan harus cepat. Untuk itu, ibu hamil harus senantiasa berkonsultasi dengan dokter kandungan.
• Normalnya, kontraksi sesekali sudah mulai muncul sejak kandungan berusia 34 minggu, meskipun datangnya jarang-jarang. Jika setelah mencapai 36 minggu, belum timbul kontraksi sama sekali, disarankan melakukan hubungan suami istri. Pasalnya, air mani mengandung zat prostaglande. Meski demikian, tetap harus dilakukan dengan ektra hati-hati.
Perkembangan fisika dan radioterapi
Radioterapi adalah sebuah teknik terapi bagi para penderita kanker yang cukup populer. Radioterapi telah mengalami teknik radiasi yang berkembang dari sejak pertama kali diperkenalkan sampai saat ini. Indonesia mengenal adanya radioterapi sudah cukup lama dengan didirikannya fasilitas radioterapi di RSCM. Sampai saat ini, tersedia beberapa pusat radioterapi yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia dengan sebagaian besar terpusat di pulau jawa. Dengan perhitungan matematis apakah sudah cukup fasilitas yang ada dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa?
Kembali ke pokok bahasan, radioterapi adalah secara harfiah adalah melakukan sebuah terapi kanker atau tumor dengan sebuah radiasi. Radiasi yang dimanfaatkan pada terapi ini adalah radiasi pengion, yang mempunyai sifat daya rusak terhadap sel makhluk hidup. Dengan daya rusak sel inilah, radiasi pengion dimanfaatkan untuk membunuh sel kanker. Tentunya ada sebuah pertanyaan bagaimana dengan sel jaringan normal ? Ya tentu saja sel di jaringan normal mati juga, namun dari sebuah konsep radiobiologi, respon sel kanker dan normal mempunyai respon yang berbeda terhadap radiasi pengion ini yang dikenal dengan therapeutic ratio. Dengan hasil penelitian inilah, logika pemanfaatan radioterapi menjadi berkembang menjadi teknologi cangging dengan aksesoris yang rumit.
Dalam perkembangannya, teknik radioterapi mengalami teknik radiasi ” pisang goreng” dalam artinya sumber radiasinya tetap dan pasienya yang disesuaikan. Dengan penalaran yang logis akhirnya didesainlah sebuah perangkat pesawat teleterapi dengan teknik pasien tetap dan sumber radiasi yang disesuaikan terhadap pasien. Dengan perkembangan teknologi yang semakin mapan berkembang teknik radioterapi juga berkembang dari konvesional, 3D conformal, IMRT, IGRT, dan teknik dengan desain sumber radiasi yang cukup spektakuler seperti tomoterapi.
Apa sebenarnya yang dibisa dilihat dari perkembangan teknik radioterapi ini? Teknik konvensional ke 3D CRT adalah mengubah pandangan dari teknik radiasi konvensional anterior posterior atau box system yang setidaknya perhitunganya dapat dihitung dengan tangan mejadi keharusan menggunakan fasilitas komputer untuk menghitung dosis radiasi sebelum dilakukan penyinaran pasien. Teknik 3D CRT memdesain sedemikian hingga dosis membentuk distrubusi dosis mengikuti kontur tumor target . Tentu saja perhitungan manual sangat sulit memprediksi ini.
Sekarang sudah menjadi program IAEA yaitu transisi 3D CRT ke Intensity Modulation Radiation Therapy (IMRT), walaupun teknik IMRT sudah diperkenalkan penggunaanya pada tahun 90-an. Apa yang dikembangkan dari teknik ini? IMRT adalah membuat sebuah konsep yang tadinya kita membuat perencanaan berkas radiasi dari beberapa lapangan dan dapat dihitung distribusi dosisnya dibalik menjadi kita menentukan telebih dahulu dosis target dan organ at risk (OAR)-nya kemudian dihitung balik berapakah intensitas radiasi yang harus diberikan pada masing-masing segmen target radiasi yang dikenal dengan invers planning.
Akuratkah perhitungan yang dilakukan dengan komputer? Kita mempercayai bahwa komputer dengan algoritmanya mengeksekusi perintah yang diberikan adalah benar. Namun seperti halnya dalam sebuah pengadilan, vonis benar atau salah haruslah adalah sebuah saksi atau bukti. Oleh karena itu, bergunalah para fisikawan dan ilmuwan mendesain ionization chamber yang dapat menunjukkan berapakah dosis radiasi yang dipancarkan oleh sumber radiasi. Hasil pengukuran dengan instrumen IC dan alat pencacahnya menjadi sebuah saksi dan bukti kebenaran sebuah ekseskusi program komputer.
Dilihat dari semua di atas, peranan para fisikawan dan ilmuwan lain yang mendedikasikan dirinya untuk membangun radioterapi yang aman sangat besar. Aman dalam artian adalah membuat sebuah tatalaksana terapi dengan radiasi dengan tingkat akurasi yang tinggi dan sebisa mungkin menghidari dosis berlebih di jaringan normal dan jaringan/organ beresiko. Para ilmuwan telah berusaha membuat sebuah perangkat, teknik, dan perhitungan dosis yang akurat untuk mencapai tujuan aman.
Harapan kita bahwa teknologi radioterapi ini bisa membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia di jaman yang serba instan ini.
Pengaruh induksi
Induksi itu adalah pemberian hormon
oksitoksin yang fungsinya merangsang uterus atau rahim agar
berkontraksi agar bayi lahir, biasanya diberikan dalam bentuk infus.
Apabila induksi dihentikan maka pengaruh induksi tersebut akan
hilang, jadi rasanya tdk mungkin induksi itu menimbulkan kelemahan
pada tubuh ibu. Pada kondisi normal pada tubuh ibu yang akan
melahirkan itu mengeluarkan oksitosin sendiri. Jadi sekalipun tdk di
induksi oksitosin itu ada dalam tubuh ibu.
induksi itu harus diberikan pada keadaan bayi harus segera
dilahirkan karena suatu seperti di bawah ini :
1. Lebih bulan
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Tekanan Darah Tinggi
4. Bayi mati dalam kandungan
5. Partus macet
Tekanan Darah Pada Ibu Hamil
Umumnya, ibu hamil akan mengalami penurunan tekanan darah (hipotensi), terutama di usia kehamilan 20 minggu hingga maksimal di usia 32 minggu. Jika penurunan ini terjadi secara gradual atau perlahan dan tak menimbulkan keluhan, maka terbilang normal, karena sesudah itu tekanan darah akan kembali normal atau sedikit lebih rendah dari normal. Kisaran tekanan darah normal yang umum adalah terendah 80/60 dan paling tinggi 120/80.
Hipotensi terjadi bila tekanan darah ibu berada di bawah dari biasanya. Misalnya tekanan darah ibu normalnya adalah 100/70 kemudian turun menjadi 80/60, ini dapat dikatakan tidak normal. Penurunan ini dapat menimbulkan keluhan seperti pusing dan mata berkunang-kunang.
Pada ibu hamil, tekanan darah yang menurun ini bersifat fisiologis atau terjadi karena adanya kehamilan. Secara ilmiah penyebabnya bisa diterangkan sebagai berikut; saat hamil, tubuh ibu memproduksi hormon progesteron. Hormon ini memengaruhi otot-otot menjadi lebih relaks. Kemudian memengaruhi pembuluh-pembuluh darah ibu yang cenderung melebar. Pelebaran pembuluh darah inilah yang membuat tekanan darah menurun.
MANFAAT BAGI IBU DAN JANIN
Nah, karena terbilang normal, tentunya penurunan tekanan darah ini tak berbahaya sehingga ibu hamil tak perlu khawatir. Malah, penurunan tekanan darah ini bermanfaat besar buat ibu maupun janinnya. Sebab, pembuluh darah yang melebar akan memperbanyak volume darah di dalam tubuh. Dengan kata lain, kapasitas pembuluh darah akan lebih besar sehingga dapat lebih banyak menampung masukan cairan ekstra. Ini akan memicu terjadinya haemodilusi darah atau darah lebih cair karena pada kondisi ini darah ibu hamil akan terlihat lebih cair.
Rupanya, dengan tekanan darah rendah ini, tubuh mempersiapkan diri untuk persalinan. Dengan jumlah cairan darah yang relatif banyak, perdarahan hingga 500 cc (kira-kira 2 gelas) tidak akan membuat ibu hamil pingsan. Ajaibnya, persiapan ini dilakukan secara perlahan selama 9 bulan.
Selain itu, pelebaran pembuluh darah ini akan membantu kelancaran asupan makanan pada janin. Asupan makanan akan semakin banyak sehingga pertumbuhan janin pun akan semakin baik. Selain itu, asupan makanan yang disalurkan ke berbagai organ tubuh, seperti payudara, akan lebih lancar sehingga biasanya payudara ibu hamil akan terlihat lebih besar.
Pelebaran pembuluh darah pun terjadi di daerah vagina. Akibatnya, vagina jadi lebih lembap dan lentur sehingga persalinan akan terjadi lebih mudah. Jadi jangan heran bila saat persalinan, kepala bayi bisa melewati lubang vagina yang sempit karena saat itu otot-ototnya akan jauh lebih lentur.
KURANG OLAHRAGA & SAKIT
Sebenarnya, tekanan darah rendah atau hipotensi bukanlah sebuah penyakit, ini termasuk normal. Jadi tidak ada obat yang harus diberikan kepada ibu hamil karena akan sembuh dengan sendirinya. Dampak terhadap janin pun boleh dikatakan tidak ada sehingga ibu tidak perlu khawatir menghadapinya. Namun, pada beberapa kasus, tekanan darah fisiologis terkadang cukup mendatangkan keluhan, seperti lemas, sempoyongan, pusing, pandangan kurang jelas, dan lainnya. Hal ini bisa terjadi pada ibu yang kurang menjaga kebugaran tubuhnya atau kurang berolahraga. Kurang olahraga dapat membuat pembuluh darah terlalu lentur sehingga tekanan darah menjadi sangat rendah. Efeknya, ketika ia berdiri terlalu lama maka pembuluh darah di kaki melebar membuat darah jadi rendah. Walhasil, ibu akan pusing, sempoyongan, bahkan terjatuh.
Selain itu, kondisi tubuh yang kurang fit atau sakit bisa membuat tekanan darah menjadi rendah. Namun biasanya tekanan rendah ini hanya simptom saja, jika kondisi ibu membaik maka tekanan darah pun akan normal kembali. Untuk mengatasinya tak perlu dengan obat, melainkan dengan beristirahat cukup, tidak melakukan aktivitas yang membuat simptom tekanan darah rendah muncul seperti berdiri terlalu lama, konsumsi makanan bergizicukup protein, kalori, vitamindan olahraga secara teratur untuk menjaga kebugaran tubuh. Jika ingin bepergian sebaiknya ditemani agar jika terjadi apa-apa di jalan ada yang menolong.
Waspadai Yang Patologis
Bila tekanan darah ibu tiba-tiba turun secara drastis, bisa menunjukkan adanya kemungkinan ibu mengalami syok. Hal ini tak boleh dianggap ringan karena sudah bersifat patologis dimana tekanan darah turun secara akut, cepat sekali, dan sering kali disertai peningkatan detak nadi.
Adapun penyebab turunnya tekanan darah secara drastis, antara lain:
+ Perdarahan
Bisa karena kehamilan itu sendiri, seperti keluar vlek, keguguran, plasenta previa, dan lainnya. Bisa juga karena perlukaan di bagian tubuh lain yang tak ada hubungannya dengan kehamilan, seperti benturan keras hingga berdarah, tertusuk benda tajam, dan lainnya.
+ Banyak Cairan yang Keluar
Bisa disebabkan oleh diare berat yang tak segera diatasi sehingga ibu mengalami dehidrasi, muntah berat. Juga bisa karena demam berdarah.
+ Serangan Jantung
Saat serangan jantung, nadi tak berdenyut sehingga sulit untuk mengobservasi tekanannya. Namun kasus ini biasanya dianggap di luar dari masalah kehamilan karena tidak spesifik.
+ Stres
Dalam kondisi tertekan secara psikis bisa membuat ibu stres dan memengaruhi tekanan darahnya. Bila stresnya terlalu berat bisa membuat ibu mengalami syok bahkan pingsan.
Masalah turunnya tekanan darah akibat patologis harus ditangani oleh ahlinya. Ibu bisa ke dokter kandungan bila masalahnya karena perdarahan kehamilan, ke dokter penyakit dalam bagian pencernaan bila karena diare, atau ke psikolog/psikiater bila karena masalah psikis/kejiwaan.
Hipertensi Yang Berbahaya
Selain tekanan darah rendah, ibu hamil dapat mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi) . Disebut hipertensi bila tekanan darah ibu melebihi 120/80, bahkan bisa mencapai 140/90. Tekanan darah tinggi pun biasanya terjadi bila tekanan darah ibu melonjak dari ukuran yang normal. Misalnya bila tekanan normal darah yang biasanya 110/75 melonjak menjadi 130/90.
Hipertensi berbahaya karena pembuluh darah menyempit sehingga asupan makanan ke bayi menjadi sedikit. Tak jarang, hipertensi pada kehamilan bisa membuat janin meninggal, plasenta terputus, pertumbuhan terganggu. Gejala hipertensi adalah pusing dan sakit kepala, kadang disertai bengkak di daerah tungkai, dan tes laboratorium menunjukkan protein yang tinggi dalam urine.
Penderita hipertensi bisa sudah mengidap sebelum kehamilan atau hipertensi akibat kehamilan itu sendiri. Kondisi ini disebut dengan preeklamsia dan eklamsia. Preeklamsia biasanya terjadi pada kehamilan lebih dari 20 minggu dan harus segera ditangani agar tak meningkat menjadi eklamsia.
Hipertensi yang parah atau ekslamsia ditandai dengan tekanan darah tinggi yang terus meningkat dan kadar protein yang lebih tinggi lagi dalam urine, sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah urine. Gejala yang muncul pada ibu adalah penglihatan menjadi kabur, perut terasa sakit atau panas, sakit kepala, denyut nadi yang cepat, serta bengkak terjadi di kaki, wajah, dan tangan.
Risiko eklamsia sangat besar, ibu bisa mengalami kejang-kejang hingga tak terselamatkan, gagal ginjal, dan kerusakan hati. Pada janin, aliran darah ke janin berkurang sehingga mengalami gangguan pertumbuhan. Jika jiwa ibu terancam, biasanya keselamatan ibu lebih diprioritaskan. Sedangkan bayi akan dikeluarkan dengan proses induksi untuk menghasilkan persalinan normal.
Hipertensi harus dikontrol. Jika terkontrol, penyakit ini tak jadi masalah. Berikut cara mengontrolnya:
* Konsultasi secara rutin ke dokter. Ceritakan masalah/riwayat tekanan darah tinggi yang ibu alami, sehingga dokter dapat melakukan pengawasan ketat. Setiap kontrol biasanya dokter akan memeriksa tekanan darah.
* Konsumsi obat-obatan hipertensi secara teratur. Biasanya dokter sudah mempertimbangkan keamanan obat untuk janin sehingga tak perlu takut mengonsumsinya.
* Lakukan diet secara baik sehingga penambahan bobot selama kehamilan akan terkontrol dengan baik. Penambahan BB ibu hamil sebaiknya tidak lebih dari 2 kg per bulan.
* Hindari makanan yang dapat meningkatkan hipertensi seperti makanan yang asin-asin.
Cegah Jangan Sampai Anemia
Yang penting diingat, dalam kondisi ini, ibu hamil perlu menjaga agar jangan sampai terjadi anemia. Sebab, haemodilusi sering kali membuat hemoglobin atau kadar darahnya menjadi lebih rendah, kurang dari 10g/dl, dibandingkan cairan ekstranya. Padahal standar WHO minimalnya adalah 12g/dl. Akibatnya, gejala yang muncul, ibu hamil mudah letih, lesu, lemah, lelah, lunglai, dan mata berkunang-kunang. Bahkan pada banyak kasus anemia bisa sangat membahayakan karena dapat terjadi perdarahan sehingga mengancam kehamilan.
Memang, banyak ibu yang masih mampu beraktivitas normal meski kadar Hb-nya mencapai 10 g/dl. Mereka bisa beraktivitas seperti biasa tanpa mengeluh sehingga kehamilan tetap berjalan baik dan bayi yang dilahirkan pun sehat. Tetapi ibu jangan terlena, sebab bila Hb di bawah 7g/dl, kehamilan dan persalinan penuh risiko, seperti perdarahan yang berat.
4 Jenis Anemia
o Anemia Defisiensi Besi
Wanita hamil paling sering menderita anemia defisiensi besi. Zat besi adalah salah satu komponen pembentuk sel darah merah (hemoglobin) . Biasanya diidap oleh ibu yang tidak mengonsumsi gizi seimbang tertutama makanan yang mengandung zat gizi tinggi seperti susu, kacang-kacangan, dan kol. Kekurangan zat besi inilah yang membuat ibu mudah sekali lelah, lemah, lunglai, bahkan ada yang mengalami sesak napas.
Gangguan metabolisme juga bisa membuat defisiensi zat besi terutama terjadi pada usus yang mengalami gangguan penyerapan. Zat besi yang seharusnya diserap tubuh dengan baik malah terbuang begitu saja. Kemudian juga ibu hamil yang daya tahan tubuhnya menurun. Seharusnya ibu hamil menjaga daya tahan tubuhnya tetap baik. Bila tidak, maka bisa saja ibu akan mengalami gangguan, salah satunya adalah gangguan pencernaan. Bila pencernaan terganggu maka asupan zat besi pun bisa terganggu yang akhirnya dapat memicu terjadi anemia.
Bila ibu mengidap cacingan, khususnya cacing tambang yang tinggal di usus, dapat juga memicu terjadi anemia. Cacing dengan panjang 1-2 cm ini memiliki gigi yang runcing. Ia sering melukai lambung semata-mata agar bisa bernapas. Luka tersebut tak bisa segera menutup karena si cacing mengeluarkan zat anti pembekuan darah sehingga banyak darah yang keluar dan kita kehilangan hemoglobin. Cacingan bisa diatasi dengan minum obat anticacing secara berkala, 3 bulan sekali, misalnya. Hal yang sama juga terjadi bila ibu mengalami wasir atau varises di lubang dubur. Banyak darah yang keluar sehingga ibu akan kehilangan sel darah merah cukup banyak.
Khusus pada ibu yang mengalami kekurangan zat besi biasanya dokter akan memnta ibu hamil untuk memperbaiki pola makannya, dengan mengonsumsi makanan kaya zat besi seperti sayuran, telur, kacang-kacangan, hati, ikan, dan sejenisnya. Tetapi bila untuk mempercepat peningkatan kadar zat besi dalam tubuh biasanya diberikan pula suplemen penambah zat besi dengan dosis 10 mg/kg berat badan/hari selama 10-12 minggu. Memang, asupan suplemen zat besi ini terkadang dapat memperberat keluhan mual-muntah lantaran aroma dan rasa preparat zat besi yang tidak enak.
Dianjurkan pula mengonsumsi vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik dapat meningkatkan mekanisme penyerapan zat besi. Bila ternyata kadar hemoglobin kurang dari 5 g/dl atau kurang dari 6 g/dl namun disertai gejala gagal jantung, biasanya dokter akan melakukan transfusi darah untuk mengatasinya.
o Anemia Megaloblastik
Hampir sama dengan anemia defisiensi zat besi yakni terjadi akibat kekurangan makanan asam folik yang kaya akan zat besi. Mengatasinya dengan mengonsumsi makanan yang mengandung cukup banyak zat besi.
o Anemia Hipoplastik
Terjadi karena ada kelainan di sumsum tulang yang kurang mampu membuat sel-sel darah baru. Kenapa terjadi demikian hingga kini belum diketahui persis penyebabnya. Mungkin karena ibu pernah mengalami infeksi berat, karena paparan sinar rontgen yang mengenai sumsum tulangnya, keracunan dan pengaruh obat-obatan seperti spleptomisin, atau yang lainnya. Untuk mengatasinya harus dilakukan transfusi darah.
o Anemia Hemolitik
Terjadi karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan pembuatannya. Penyebabnya, kelainan darah yang sudah terjadi sejak lama seperti thalassemia atau bisa karena penyakit infeksi, malaria, juga keracunan obat-obatan. Selain mengonsumsi makanan yang kaya zat besi, juga dilakukan transfusi darah. Penderita anemia hemolitik biasanya sangat sulit untuk hamil.
JANGAN DISEPELEKAN
Anemia tak boleh disepelekan. Selain munculnya masalah di atas, juga dikhawatirkan terjadi kekurangan zat besi yang cukup parah di banyak organ tubuh. Contoh, untuk berlangsungnya sistem metabolisme maka tubuh akan “mencuri” kandungan zat besi dari organ tubuh lain seperti sumsum tulang, limpa, bahkan jantung. Bila zat besi “dicuri” dari sumsum tulang belakang maka penderita umumnya akan mengalami keluhan pegal. Pengeroposan tulang belakang sebelum waktunya pun sangat mungkin terjadi. Sementara jika limpa yang jadi sasaran, akan terjadi pembengkakan limpa yang membuat tubuh kelelahan. Sedangkan bila diambil dari jantung akan mengakibatkan payah jantung atau malah gagal jantung.
Anemia akibat kekurangan zat besi ini pun bisa menurunkan daya tahan tubuh. Sebab zat besi berperan penting untuk membentengi tubuh dari berbagai bibit penyakit. Apalagi zat besi yang rendah biasanya diikuti oleh minimnya sel darah putih yang menjadi penangkal serangan bibit penyakit. Bukan tak mungkin ibu hamil akan mudah terserang oleh penyakit. Jika demikian, tak hanya ibu yang semakin terganggu. Pertumbuhan janin pun dikhawatirkan akan ikut terganggu. Umpama, bayi lahir dengan berat badan rendah, lahir prematur, muncul kelainan genetik seperti gangguan pertumbuhan pada tulang. Nah, saat melahirkan, karena kadar hemoglobinnya rendah, membuat komponen pembeku darah tak dapat berfungsi maksimal, dikhawatirkan terjadi perdarahan berat yang dapat mengancam keselamatan jiwa ibu.
Ibu hamil perlu melakukan kontrol teratur ke dokter kandungan. Khusus pemeriksaan kadar hemoglobin paling lambat dilakukan pada usia 3 bulan kehamilan yang diulang kembali pada usia 26 atau 28 minggu. Bila ternyata kadar hemoglobinnya di bawah 12 g/dl, ibu perlu memperbaiki asupan makanannya terutama yang mengandung banyak zat besi seperti daging merah, hati, ginjal, telur, roti, sereal, kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran berwarna hijau. Bila anemianya bukan hanya karena kekurangan zat besi maka perlu terapi lain, minum suplemen zat besi atau transfusi darah misalnya.
Selasa, 05 Mei 2009
Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia
Prof. M. Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas
Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for Nutrition” atau
“Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah
perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl.27
sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua
zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara
gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang
dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya.
Bidang pertanian juga mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi
rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas
pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program
nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam
upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang
intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang
yodium.
Dibalik “cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam hal
masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia
kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak,
remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen)
kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam
waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi
lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
hipertensi, stroke dan diabetes.
Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah
dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan. Hanya saja kita di Indonesia
masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam
hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga
menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat
yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada
masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada
anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data
mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang
ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai
masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada
makalah lain.
Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam
penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan
beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi
khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu
dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Salah
satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan paradigma dalam
kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi
suatu hal atau masalah.
Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita
Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari
sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai
negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara
minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di
Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas.
Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17
per 100.000 tahun 1996.
Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian
besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data
nasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam
kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi
anak sebagai salah satu indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status
gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan
kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain
dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa
rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang
sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah
paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.1 Sedang kita masih
lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau
makanan.
Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan
rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh
karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi
yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi
termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand.
Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input.
Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap
rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya
baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome
sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain
tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan
kesehatan dasar.
Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru
untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status
gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma
program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi,
1 Ada perbedaan antara pertumbuhan anak dan status gizi anak. Pertumbuhan anak adalah indikator
dinamik yang mengukur pertambahan berat dan tinggi/panjang anak. Dari indikator ini dapat diikuti dari
waktu kewaktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan) pertambahan berat tau tinngi badan. Status
gizi merupakan indek yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan
dalam waktu pendek misalnya bulanan.
maka pembahasan akan saya mulai dengan dengan pemahaman masalah gizi
sebagai konsep system “input-outcome”.
Masalah gizi dalam konsep system “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebabakibat
antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak
masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome.
Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak
apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah
input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan
diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka
identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat
bagan)
13/6/2000 FK-UKI S O EKIRMA N Jakarta 9
G izi sebagai input-outcome
INPUT PROSES OUTCOME
Makanan di
makan
(dikonsumsi)
Dicerna,
Diserap ,
Metabolisme
Pertum b uhan Se l,
Pemelihara an Se l,
Memperlancar Fung si
Anatom is & Faa liTubuh,
Menghasilkan energi
Pertum b uhan
Status G izi
Fisik & Menta l/
Kecerdasan,
Produkt ivita s
Morb id ita s
Kesehatan Makanan
Gizi sebagai Input
Gizi sebagai Outcome
Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator
masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro
seperti produksi, persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan ratarata.
Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga
dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan
rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan
(orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari
sumber lemak dan protein meningkat.
Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri
anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan
pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan.
Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke
masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran
status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi
letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif
tidak akan menjangkau masalah gizi mikro.
Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang.
Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan
berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang
diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya.
Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang
perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama
diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di
Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak
menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok
Posyandu menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya.
Menurut hemat saya meletusnya “wabah” gizi-buruk pada saat krisis
ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan
penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an.
Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan
internasional.
Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang
mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan
pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian
menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk
mempertahankan berat badan.
Kesimpulan
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi
kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan
program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi
sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan
peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih,
kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi
lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri
dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini
dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi
adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan
protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan
sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita.
Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang
mengukur “the real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah
satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan
paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome.
Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih
besar dalam program gizi .
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi
protein, titik tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status
gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah
memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal
menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi
anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini
mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar
program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan
kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti
itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional
secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada
Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan
Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya.
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita
dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional
secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti
dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain. Pelaksanaannya dapat melalui
Susenas atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem
pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang
tidak terjangkau survey gizi nasional.
Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat
mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama
masyarakat desa untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan
pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS
pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan baik,
merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan
diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan
perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur
lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para
petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan KMS
sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas
normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada
petugas gizi dan kesehatan serta kader.
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga
pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya
paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai
titik tolak dan tujuan program.
Di bidang gizi proyek ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi melalui perubahan perilaku keluarga, secara operasional kegiatan pemberdayaan keluarga di bidang gizi pada 5 propinsi ( Sumut, Jambi, Bengkulu, Kalsel dan Kalteng) terintegrasi dengan komponen kegiatan lainnya dalam KKG pada tahun 2000. Proyek ini menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan keluarga dimana design program atau kegiatan nya dilakukan secara sistimatis akan menjangkau keluarga , sehingga pukesmas yang selama ini menggunakan pendekatan komunitas perlu melakukan reorientasi sesuai dengan paradigma baru puskesmas.
Dalam hal kaitannya untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan keluarga, kegiatan di bidang gizi yang dikembangkan bermula dari kajian perilaku sadar gizi dan analisis kebutuhan program dilapangan, selanjutnya pengembangan intervensi dilakukan berdasarkan potensi masyarakat yang ada (organisasi/institusi kemsyarakatan, pola ekonomi keluarga ,dll). Untuk menunjang kegiatan pemberdayaan gizi, didukung dengan akses keluarga dalam pelayanan kesehatan , penguatan akses informasi kesehatan dan gizi. Adanya kader keluarga dan TPM yang direkrut dari masyarakat dan keluarga diharapkan akan menjembatani masuknya informasi gizi dalam keluarga.
Beberapa kegiatan gizi yang dilakukan antara laian :
1. Pendekatan KIE interpersonal secara proaktif menjangkau keluarga melalui Pemetaan keluarga Sadar Gizi (kadarzi) yang ditindaklanjuti dengan konseling .
2. Pemberdayaan keluarga/masyarakat untuk menghasilkan makanan balita padat gizi. Kegiatan ini diawali dengan need assessment( potensi bahan lokal serta komitmen Pemda dan masyarakat seperti: penyediaan tempat, daya listrik, sustainability), pelatihan kader dan petugas .
3. KIE Kadarzi melalui pegembangan dan penggandaan media, Kampanye , dll.
4. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan petugas terutama dalam :
Pemantauan pertumbuhan balita, Konseling, tatalaksana kasus gizi buruk , Pembuatan MP-ASI berbasis pangan lokal, penyelenggaaran pelayanan gizi (POZI)
Kekuatan
Beberapa hal yang dianggap menjadi kekuatan adalah;
1. Kader keluarga, Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM), merupakan potensi untuk mempercepat proses pendidikan gizi.
2. Paket pemberdayaan bidang ekonomi (KUB) merupakan stimulan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pengembangan usaha ekonomi bersekala kecil. Diupayakan stimulan berkaitan dengan bidang kesehatan .
3. Puskesmas peduli keluarga merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang pro- aktif menjangkau keluarga (sehat/sakit)
4. IPKS (Indeks Potensi keluarga sehat), merupakan indikator yang merupakan gambaran adanya partisipasi masyarakat (ada 7 indikator), salah satu indikator kadarzi (menimbang anak) termasuk dalam IPKS. IPKS menjadi salah satu sukses Kepala Daerah.
Ke tujuh indikator tersebut adalah :
• Tersedianya air bersih
• Tersedianya jamban keluarga
• Lantai rumah bukan dari tanah
• Bila ada PUS menjadi peserta KB
• Bila punya balita mengikuti kegiatan penimbangan
• Tidak ada anggota keluarga yang merokok
• Menjadi anggota keluarga dana sehat.
5. Badan Penyantun Puskesmas/Badan Peduli Kesehatan Masyarakat , suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kesehatan termasuk gizi merupakan mitra kerja puskesmas.
Badan ini diharapkan dapat menyantuni kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.
6. Tiap Kabupaten ada LSM yang diikutsertakan dalam prose pemberdayaan keluarga khususnya dalam pembinaan KUB. Peran TPM terutama dapat memperkuat TPM agar mampu memfasilitasi pemberdayaan keluarga.
7. Paket pemberdayaan di bidang kesehatan dan gizi
Kesimpulan .
1. Hasil pemetaan kadarzi di beberapa tempat menunjukkan adanya perubahan perilaku kadarzi pada keluarga sasaran.
2. Adanya komitmen Pemda untuk sustainabilitas dan replikabilitas kegiatan pembinaan kadarzi, pembuatan makanan balita/MP-ASI padat gizi.
Oleh : Prof.Dr. Soekirman
Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB)
Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for Nutrition” atau
“Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah
perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl.27
sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua
zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara
gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang
dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya.
Bidang pertanian juga mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi
rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas
pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program
nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam
upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang
intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang
yodium.
Dibalik “cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam hal
masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia
kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak,
remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen)
kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam
waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi
lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,
hipertensi, stroke dan diabetes.
Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah
dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan. Hanya saja kita di Indonesia
masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam
hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga
menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat
yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada
masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada
anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data
mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang
ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai
masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada
makalah lain.
Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam
penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan
beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi
khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu
dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Salah
satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan paradigma dalam
kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi
suatu hal atau masalah.
Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita
Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari
sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai
negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara
minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di
Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas.
Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17
per 100.000 tahun 1996.
Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian
besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data
nasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam
kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi
anak sebagai salah satu indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status
gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan
kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain
dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa
rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang
sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah
paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.1 Sedang kita masih
lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau
makanan.
Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan
rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh
karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi
yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi
termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand.
Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input.
Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap
rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya
baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome
sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain
tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan
kesehatan dasar.
Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru
untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status
gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma
program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi,
1 Ada perbedaan antara pertumbuhan anak dan status gizi anak. Pertumbuhan anak adalah indikator
dinamik yang mengukur pertambahan berat dan tinggi/panjang anak. Dari indikator ini dapat diikuti dari
waktu kewaktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan) pertambahan berat tau tinngi badan. Status
gizi merupakan indek yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan
dalam waktu pendek misalnya bulanan.
maka pembahasan akan saya mulai dengan dengan pemahaman masalah gizi
sebagai konsep system “input-outcome”.
Masalah gizi dalam konsep system “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebabakibat
antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak
masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome.
Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak
apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah
input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan
diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka
identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat
bagan)
13/6/2000 FK-UKI S O EKIRMA N Jakarta 9
G izi sebagai input-outcome
INPUT PROSES OUTCOME
Makanan di
makan
(dikonsumsi)
Dicerna,
Diserap ,
Metabolisme
Pertum b uhan Se l,
Pemelihara an Se l,
Memperlancar Fung si
Anatom is & Faa liTubuh,
Menghasilkan energi
Pertum b uhan
Status G izi
Fisik & Menta l/
Kecerdasan,
Produkt ivita s
Morb id ita s
Kesehatan Makanan
Gizi sebagai Input
Gizi sebagai Outcome
Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator
masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro
seperti produksi, persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan ratarata.
Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga
dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan
rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan
(orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari
sumber lemak dan protein meningkat.
Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri
anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan
pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan.
Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke
masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran
status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi
letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif
tidak akan menjangkau masalah gizi mikro.
Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang.
Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan
berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang
diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya.
Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang
perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama
diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di
Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak
menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok
Posyandu menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya.
Menurut hemat saya meletusnya “wabah” gizi-buruk pada saat krisis
ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan
penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an.
Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan
internasional.
Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang
mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan
pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian
menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk
mempertahankan berat badan.
Kesimpulan
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi
kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan
program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi
sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan
peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih,
kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi
lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri
dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini
dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi
adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan
protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan
sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita.
Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang
mengukur “the real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah
satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan
paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome.
Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih
besar dalam program gizi .
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi
protein, titik tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status
gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah
memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal
menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi
anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini
mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar
program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan
kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti
itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional
secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada
Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan
Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya.
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita
dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional
secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti
dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain. Pelaksanaannya dapat melalui
Susenas atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem
pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang
tidak terjangkau survey gizi nasional.
Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat
mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama
masyarakat desa untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan
pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS
pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan baik,
merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan
diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan
perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur
lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para
petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan KMS
sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas
normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada
petugas gizi dan kesehatan serta kader.
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga
pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya
paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai
titik tolak dan tujuan program.
Di bidang gizi proyek ini bertujuan untuk meningkatkan status gizi melalui perubahan perilaku keluarga, secara operasional kegiatan pemberdayaan keluarga di bidang gizi pada 5 propinsi ( Sumut, Jambi, Bengkulu, Kalsel dan Kalteng) terintegrasi dengan komponen kegiatan lainnya dalam KKG pada tahun 2000. Proyek ini menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan keluarga dimana design program atau kegiatan nya dilakukan secara sistimatis akan menjangkau keluarga , sehingga pukesmas yang selama ini menggunakan pendekatan komunitas perlu melakukan reorientasi sesuai dengan paradigma baru puskesmas.
Dalam hal kaitannya untuk mempercepat proses pemberdayaan masyarakat dan keluarga, kegiatan di bidang gizi yang dikembangkan bermula dari kajian perilaku sadar gizi dan analisis kebutuhan program dilapangan, selanjutnya pengembangan intervensi dilakukan berdasarkan potensi masyarakat yang ada (organisasi/institusi kemsyarakatan, pola ekonomi keluarga ,dll). Untuk menunjang kegiatan pemberdayaan gizi, didukung dengan akses keluarga dalam pelayanan kesehatan , penguatan akses informasi kesehatan dan gizi. Adanya kader keluarga dan TPM yang direkrut dari masyarakat dan keluarga diharapkan akan menjembatani masuknya informasi gizi dalam keluarga.
Beberapa kegiatan gizi yang dilakukan antara laian :
1. Pendekatan KIE interpersonal secara proaktif menjangkau keluarga melalui Pemetaan keluarga Sadar Gizi (kadarzi) yang ditindaklanjuti dengan konseling .
2. Pemberdayaan keluarga/masyarakat untuk menghasilkan makanan balita padat gizi. Kegiatan ini diawali dengan need assessment( potensi bahan lokal serta komitmen Pemda dan masyarakat seperti: penyediaan tempat, daya listrik, sustainability), pelatihan kader dan petugas .
3. KIE Kadarzi melalui pegembangan dan penggandaan media, Kampanye , dll.
4. Peningkatan kemampuan dan ketrampilan petugas terutama dalam :
Pemantauan pertumbuhan balita, Konseling, tatalaksana kasus gizi buruk , Pembuatan MP-ASI berbasis pangan lokal, penyelenggaaran pelayanan gizi (POZI)
Kekuatan
Beberapa hal yang dianggap menjadi kekuatan adalah;
1. Kader keluarga, Tenaga Penggerak Masyarakat (TPM), merupakan potensi untuk mempercepat proses pendidikan gizi.
2. Paket pemberdayaan bidang ekonomi (KUB) merupakan stimulan untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui pengembangan usaha ekonomi bersekala kecil. Diupayakan stimulan berkaitan dengan bidang kesehatan .
3. Puskesmas peduli keluarga merupakan pendekatan pelayanan kesehatan yang pro- aktif menjangkau keluarga (sehat/sakit)
4. IPKS (Indeks Potensi keluarga sehat), merupakan indikator yang merupakan gambaran adanya partisipasi masyarakat (ada 7 indikator), salah satu indikator kadarzi (menimbang anak) termasuk dalam IPKS. IPKS menjadi salah satu sukses Kepala Daerah.
Ke tujuh indikator tersebut adalah :
• Tersedianya air bersih
• Tersedianya jamban keluarga
• Lantai rumah bukan dari tanah
• Bila ada PUS menjadi peserta KB
• Bila punya balita mengikuti kegiatan penimbangan
• Tidak ada anggota keluarga yang merokok
• Menjadi anggota keluarga dana sehat.
5. Badan Penyantun Puskesmas/Badan Peduli Kesehatan Masyarakat , suatu kelompok masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap kesehatan termasuk gizi merupakan mitra kerja puskesmas.
Badan ini diharapkan dapat menyantuni kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.
6. Tiap Kabupaten ada LSM yang diikutsertakan dalam prose pemberdayaan keluarga khususnya dalam pembinaan KUB. Peran TPM terutama dapat memperkuat TPM agar mampu memfasilitasi pemberdayaan keluarga.
7. Paket pemberdayaan di bidang kesehatan dan gizi
Kesimpulan .
1. Hasil pemetaan kadarzi di beberapa tempat menunjukkan adanya perubahan perilaku kadarzi pada keluarga sasaran.
2. Adanya komitmen Pemda untuk sustainabilitas dan replikabilitas kegiatan pembinaan kadarzi, pembuatan makanan balita/MP-ASI padat gizi.
Oleh : Prof.Dr. Soekirman
Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB)
Langganan:
Postingan (Atom)